JAKARTA -- Mantan Kabareskrim Polri, Komjen Purn Susno Duadji, menyoroti langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menggeledah rumah Ketua Pemuda Pancasila.
Ia mempertanyakan kejelasan kasus yang tengah diusut oleh lembaga antirasuah tersebut.
"KPK geledah rumah Ketua Pemuda Pancasila, kejahatan apalagi?," ujar Susno di X @susno2g (5/1/2025).
Selain itu, Susno juga menyinggung penggeledahan terhadap rumah bekas anggota dewan pertimbangan presiden (Wantimpres) era Jokowi, Jan Farid, yang menurutnya tidak memiliki kejelasan perkara.
Ia mempertanyakan dasar hukum dari tindakan tersebut serta transparansi dalam proses penyelidikan.
"Rumah Jan Farid juga di geledah gak jelas perkara apa?," cetusnya.
Tak hanya itu, mantan petinggi Polri tersebut juga menyoroti perkembangan kasus dugaan korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia.
Susno bilang, meskipun tersangka telah diumumkan, kasus tersebut tampak berjalan di tempat.
"Tersangka Nilep duit CSR BI sudah diumumkan ya mandek juga," kuncinya.
Sebelumnya, kediaman Ketua Majelis Pimpinan Nasional Pemuda Pancasila (PP) Japto Soerjosoemarno di bilangan Jagakarsa, Jakarta Selatan digeledah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penggeledahan dilakukan terkait penyidikan kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan tersangka mantan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari.
"Hasil sita rumah JS, 11 kendaraan bermotor roda empat," kata juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto kepada wartawan, Rabu (5/2/2025).
Tim KPK menggeledah rumah Japto pada Selasa (4/2/2025). Selain mobil, KPK menyita mata uang asing hingga barang bukti elektronik.
Sebelumnya, KPK menyebutkan, mantan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Rita Widyasari (RW) mendapatkan jatah 3,3 sampai 5 dollar Amerika Serikat (AS) untuk setiap metrik ton tambang batubara.
KPK belum memerinci hasil penggeledahan di rumah Japto. KPK juga belum menjelaskan keterkaitan Japto di korupsi Rita Widyasari.
Sebagai informasi, Rita awalnya ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi pada 2017. Dia kemudian diadili dalam kasus gratifikasi.
Pada 2018, Rita divonis 10 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Rita juga dihukum membayar denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan dan pencabutan hak politik selama 5 tahun.
Hakim menyatakan Rita terbukti menerima gratifikasi Rp 110 miliar terkait perizinan proyek di Kutai Kartanegara. Rita mencoba melawan vonis itu.
Upaya Rita kandas setelah Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali (PK) pada 2021. Rita telah dieksekusi ke Lapas Pondok Bambu.
(Muhsin/fajar)